RUANG
TERBUKA HIJAU DI JAKARTA
Jumlah ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta baru 9,98 persen, padahal
idealnya suatu kota besar memiliki 30 persen Ruang Terbuka Hijau dari total
luas wilayahnya. Dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun tahun 2007 tentang penataan
ruang tertulis bahwa 30 persen wilayah kota harus berupa RTH yang terdiri dari
20 persen publik dan 10 persen privat. RTH publik adalah RTH yang dimiliki dan
dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan
masyarakat secara umum. Sementara, RTH Privat yakni RTH milik institusi
tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas
antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang
ditanami tumbuhan. Dengan jumlah luasan RTH yang ada saat ini, DKI Jakarta
masih membutuhkan Ruang Terbuka Hijau sekitar 10 persen lagi. Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta menargetkan capaian 30 persen RTH bisa terjadi
pada 2030 mendatang. “Untuk mencapai target RTH sebesar 30 persen ini,
dibutuhkan belasan lahan seluas Monas untuk mencapai 30 persen tersebut,” kata
Sigit Kusumawijaya Co Founder Indonesia Berkebun. Sigit menyampaikan bahwa
penyediaan RTH juga bertujuan untuk menjaga ketersediaan lahan sebagai
kawasan resapan air. Selain itu juga untuk meningkatakan keserasian
lingkungan perkotaan sebagai sarana lingkungan perkotaan yang aman, nyaman,
segar, indah, dan bersih hingga keberlanjutan suatu kota untuk keseimbangan
ekologi. Melihat besarnya fungsi dan peran RTH untuk menjamin kesimbangan kota,
Deputi Klimatologi, Badan Meteorologi, KLimatologi dan Geofisika (BMKG) Herizal
berharap jika RTH di Jakarta bisa mencapai 30 persen, temperature udara akan
menurun hingga serapan air menjadi lebih baik sehingga bisa meminimalisir
dampak banjir. Namun pertanyaan nya adalah, apakah dengan aturan RTH 30%
tersebut sudah dapat menyeimbangkan ekosistem perkotaan? Karena jika kita
tinjau dari kualotas udara yang sekarang kita rasakan dan banyak nya polusi
yang di sebabkan oleh kendaraan dengan RTH 30% tersebut dirasa masih kurang
untuk me normal kan kembali udara di jakarta. Dengan sering nya masalah banjir
yang timbul pun menjadi salah satu faktor mengapa RTH 30% tersebut kurang. Karena
jika hanya RTH 30% di jakarta dengan musim yang ada di Indonesia sendiri dimana
hanya ada 2 musim yaitu musim panas dan musim penghujan, sangat memungkinkan
sekali jakarta mengalami masalah baniir karena memang daerah resapan air nya
pun hanya 30%.
TINJAUAN
UMUM RUMAH SUSUN JAKARTA
“Pertumbuhan penduduk lebih cepat dari bahan makanan.Akibatnya pada
suatu saat akan terjadi perbedaan yang besar antara penduduk dan kebutuhan
hidup.”Thomas Malthus.
Kelahiran merupakan
bagian dari serangkaian proses dalam kehidupan. Tingkat kelahiran atau angka
fertilitas sangat berpengaruh pada banyaknya penduduk yang mendiami suatu
negara.Negara Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat jumlah
penduduk yang sangat tinggi. Faktor penyebab terjadinya jumlah penduudk yang
sangat besar disebabkan karena angka atau indeks fertilitas (kelahiran) di
Indonesia yang tinggi. Indeks fertilitas Indonesia mencapai rentang 2.60
(BPS,2012) yang berarti kelahiran sebanyak 2.60 atau mencapai 3 anak dalam
sebuah keluarga yang ada di Indonesia. Hal tersebut sangat menyebabkan jumlah
penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 jiwa (BPS,2010) yang menjadikan
Indonesia negara terbesar keempat didunia sebagai negara dengan jumlah penduduk
yang tinggi. Persebaran penduduk di Indonesia dapat dikatakan tidak
terdistribusi secara merata karena lebih terpusat pada pulau Jawa. Persebaran
yang tidak merata ini mengakibatkan ketimpangan kuantitas penduduk pada suatu
wilayah. Salah satu wilayah yang menjadi pusat kegiatan yang sangat padat di
Indonesia adalah di wilayah Provinsi DKI Jakarta. DKI Jakarta menjadi Ibu Kota
Negara Indonesia sehingga menyebabkan segala kegiatan seperti bidang
pemerintahan(government), ekonomi,
politik menjadi tiga poros utama yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta.
Konseptual sentralistik atau keterpusatan sangat terjadi di wilayah DKI
Jakarta, tingkat Urbanisasi menjadikan DKI Jakarta sebagai Urban Area sebagai pusat aktivitas. Banyaknya jumlah penduduk
pendatang ke DKI Jakarta serta indeks fertilitas DKI Jakarta mencapai 2.30
(BPS,2012) menjadikan DKI Jakarta dengan kepadatan penduduk terbesar di
Indonesia yang mencapai 15.015 jiwa per-km2 (BPS,2013). Tingkat populasi
penduduk yang sangat besar menjadikan DKI Jakarta memiliki masalah besar
khususnya dalam pengelolaan lahan yang tersedia. Tata kelola ruang dan wilayah
kota menjadi masalah besar di Provinsi DKI Jakarta. Tingkat kebutuhan pokok
utama salah satunya adalah ketersedian papan atau tempat tinggal. Luas wilayah
Provinsi DKI Jakarta yang hanya mencapai 661,52 km2 tidak
memungkinkan terpenuhinya kebutuhan terhadap hunian bagi penduduk yang ada di
wilayah Provinsi DKI Jakarta. Begitu banyak masalah yang ditimbulkan akibat
banyaknya penduduk yang ada di Provinsi DKI Jakarta, salah satunya adalah
adanya bangunan liar atau illegal yang berdiri di tempat yang tidak tepat dan
bersifat mengganggu kondisi wilayah DKI Jakarta. Master planning dalam pemecahan masalah ini sangatlah diperlukan
secara tepat dan proporsionalitas luasan lahan yang dipergunakan harus
sedemikian rupa hingga masih terciptanya ruang terbuka hijau sebagai kewajiban
dalam perencanaan tata ruang kota. Sesuai pernyataan Thomas Malthus diatas,
suatu ketika akan tercipta kondisi yang menyebabkan jumlah penduduk dengan
kebutuhannya yang sangat defisit atau perbedaan dengan tingkat yang sangat
jauh. Dalam hal mengatasi kebutuhan hunian khususnya di wilayah Provinsi DKI
Jakarta, sudah dilaksanakan kebijakan dengan membangun rumah susun atau rusun
sebagai upaya konvensional dalam mengefisienkan penggunaan lahan pemukiman.
Regulasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengatasi kebutuhan tempat
hunian bagi penduduk adalah dengan membangun rumah susun dibeberapa tempat dan
memprioritaskan rumah susun sebagai solusi utama dalam pemecahan masalah
tersebut. Secara tingkat teknis, rumah susun mampu menampung banyak penduduk
dalam luasan wilayah yang relatif kecil dibandingkan dengan rumah pada umumnya.
Pemanfaatan rumah susun di kota besar ataupun di tempat sentralistik sebuah
aktivitas suatu wilayah dapat menjadi solusi utama secara fungsional dalam
pemecahan masalah tata kelola ruang yang berkaitan dengan lahan ketersediaan
pemukiman.