Jumat, 22 November 2019

TUGAS 2 HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN


RUANG TERBUKA HIJAU DI JAKARTA

Jumlah ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta baru 9,98 persen, padahal idealnya suatu kota besar memiliki 30 persen Ruang Terbuka Hijau dari total luas wilayahnya. Dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun tahun 2007 tentang penataan ruang tertulis bahwa 30 persen wilayah kota harus berupa RTH yang terdiri dari 20 persen publik dan 10 persen privat. RTH publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Sementara, RTH Privat yakni RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Dengan jumlah luasan RTH yang ada saat ini, DKI Jakarta masih membutuhkan Ruang Terbuka Hijau sekitar 10 persen lagi. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta menargetkan capaian 30 persen RTH bisa terjadi pada 2030 mendatang. “Untuk mencapai target RTH sebesar 30 persen ini, dibutuhkan belasan lahan seluas Monas untuk mencapai 30 persen tersebut,” kata Sigit Kusumawijaya Co Founder Indonesia Berkebun. Sigit menyampaikan bahwa penyediaan RTH juga bertujuan untuk menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air.  Selain itu juga untuk meningkatakan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih hingga keberlanjutan suatu kota untuk keseimbangan ekologi. Melihat besarnya fungsi dan peran RTH untuk menjamin kesimbangan kota, Deputi Klimatologi, Badan Meteorologi, KLimatologi dan Geofisika (BMKG) Herizal berharap jika RTH di Jakarta bisa mencapai 30 persen, temperature udara akan menurun hingga serapan air menjadi lebih baik sehingga bisa meminimalisir dampak banjir. Namun pertanyaan nya adalah, apakah dengan aturan RTH 30% tersebut sudah dapat menyeimbangkan ekosistem perkotaan? Karena jika kita tinjau dari kualotas udara yang sekarang kita rasakan dan banyak nya polusi yang di sebabkan oleh kendaraan dengan RTH 30% tersebut dirasa masih kurang untuk me normal kan kembali udara di jakarta. Dengan sering nya masalah banjir yang timbul pun menjadi salah satu faktor mengapa RTH 30% tersebut kurang. Karena jika hanya RTH 30% di jakarta dengan musim yang ada di Indonesia sendiri dimana hanya ada 2 musim yaitu musim panas dan musim penghujan, sangat memungkinkan sekali jakarta mengalami masalah baniir karena memang daerah resapan air nya pun hanya 30%.




TINJAUAN UMUM RUMAH SUSUN JAKARTA

Pertumbuhan penduduk lebih cepat dari bahan makanan.Akibatnya pada suatu saat akan terjadi perbedaan yang besar antara penduduk dan kebutuhan hidup.”Thomas Malthus.
Kelahiran merupakan bagian dari serangkaian proses dalam kehidupan. Tingkat kelahiran atau angka fertilitas sangat berpengaruh pada banyaknya penduduk yang mendiami suatu negara.Negara Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat jumlah penduduk yang sangat tinggi. Faktor penyebab terjadinya jumlah penduudk yang sangat besar disebabkan karena angka atau indeks fertilitas (kelahiran) di Indonesia yang tinggi. Indeks fertilitas Indonesia mencapai rentang 2.60 (BPS,2012) yang berarti kelahiran sebanyak 2.60 atau mencapai 3 anak dalam sebuah keluarga yang ada di Indonesia. Hal tersebut sangat menyebabkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 jiwa (BPS,2010) yang menjadikan Indonesia negara terbesar keempat didunia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang tinggi. Persebaran penduduk di Indonesia dapat dikatakan tidak terdistribusi secara merata karena lebih terpusat pada pulau Jawa. Persebaran yang tidak merata ini mengakibatkan ketimpangan kuantitas penduduk pada suatu wilayah. Salah satu wilayah yang menjadi pusat kegiatan yang sangat padat di Indonesia adalah di wilayah Provinsi DKI Jakarta. DKI Jakarta menjadi Ibu Kota Negara Indonesia sehingga menyebabkan segala kegiatan seperti bidang pemerintahan(government), ekonomi, politik menjadi tiga poros utama yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta. Konseptual sentralistik atau keterpusatan sangat terjadi di wilayah DKI Jakarta, tingkat Urbanisasi menjadikan DKI Jakarta sebagai Urban Area sebagai pusat aktivitas. Banyaknya jumlah penduduk pendatang ke DKI Jakarta serta indeks fertilitas DKI Jakarta mencapai 2.30 (BPS,2012) menjadikan DKI Jakarta dengan kepadatan penduduk terbesar di Indonesia yang mencapai 15.015 jiwa per-km2 (BPS,2013). Tingkat populasi penduduk yang sangat besar menjadikan DKI Jakarta memiliki masalah besar khususnya dalam pengelolaan lahan yang tersedia. Tata kelola ruang dan wilayah kota menjadi masalah besar di Provinsi DKI Jakarta. Tingkat kebutuhan pokok utama salah satunya adalah ketersedian papan atau tempat tinggal. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta yang hanya mencapai 661,52 km2 tidak memungkinkan terpenuhinya kebutuhan terhadap hunian bagi penduduk yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Begitu banyak masalah yang ditimbulkan akibat banyaknya penduduk yang ada di Provinsi DKI Jakarta, salah satunya adalah adanya bangunan liar atau illegal yang berdiri di tempat yang tidak tepat dan bersifat mengganggu kondisi wilayah DKI Jakarta. Master planning dalam pemecahan masalah ini sangatlah diperlukan secara tepat dan proporsionalitas luasan lahan yang dipergunakan harus sedemikian rupa hingga masih terciptanya ruang terbuka hijau sebagai kewajiban dalam perencanaan tata ruang kota. Sesuai pernyataan Thomas Malthus diatas, suatu ketika akan tercipta kondisi yang menyebabkan jumlah penduduk dengan kebutuhannya yang sangat defisit atau perbedaan dengan tingkat yang sangat jauh. Dalam hal mengatasi kebutuhan hunian khususnya di wilayah Provinsi DKI Jakarta, sudah dilaksanakan kebijakan dengan membangun rumah susun atau rusun sebagai upaya konvensional dalam mengefisienkan penggunaan lahan pemukiman. Regulasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengatasi kebutuhan tempat hunian bagi penduduk adalah dengan membangun rumah susun dibeberapa tempat dan memprioritaskan rumah susun sebagai solusi utama dalam pemecahan masalah tersebut. Secara tingkat teknis, rumah susun mampu menampung banyak penduduk dalam luasan wilayah yang relatif kecil dibandingkan dengan rumah pada umumnya. Pemanfaatan rumah susun di kota besar ataupun di tempat sentralistik sebuah aktivitas suatu wilayah dapat menjadi solusi utama secara fungsional dalam pemecahan masalah tata kelola ruang yang berkaitan dengan lahan ketersediaan pemukiman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS 2 HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN

RUANG TERBUKA HIJAU DI JAKARTA Jumlah ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta baru 9,98 persen, padahal idealnya suatu kota besar memilik...